Kamis, 07 Mei 2009

pemenang

Keyakinan pertama yang harus aku miliki sebagai anak manusia adalah keyakinan bahwa aku dilahirkan untuk menjadi Pemenang. Aku percaya bahwa tidak mungkin Allah menciptakan aku ke dunia ini, tanpa alasan apapun. Tidak mungkin! Pasti ada alasannya, bukan? (tarik nafas perlahan sebentar)

Nah, jika aku berani lahir, maka aku juga haruslah berani mati (karena aku pasti mati, bukan? He..he..) Lalu, sekarang mati seperti apa yang aku inginkan? (tarik dan tahan nafas yang lama…) Duh, sereeem banget sih pertanyaannya. Iya dong, sekali-sekali serius ah! Baiklah, sekarang pilihan aku sebagai manusia yang hidup, yang masih bernafas, yang masih beredetak jantungnya, hanya tersisa satu pilihan saja, bukan? Yakni aku ingin mati sebagai apa? Ingin dikenang sebagai siapa?

Karena aku yakin bahwa aku dilahirkan untuk menjadi Pemenang, sudah sebaiknya pula aku memilih mati minimal sebagai pemenang. Pemenang seperti apa, itu persoalan lain. Yang penting pilihannya adalah kembali ke Sang Khalik sebagai seorang pemenang. Gak malu-maluin yang “nyiptain”, gitu lho! Orang Sunda bilang: “Tong Ngerakeun”.

Lalu, setelah sadar bahwa aku dilahirkan untuk menjadi Pemenang, berarti aku sekarang harus bangun dari biusnya si tidur. Oke, setelah bangun bukankah diperlukan kekuatan, diperlukan keberanian, diperlukan…? Ya,…

belajar

saat ini aku memulai kembali tuk menulis, karena mungkin dengan ini ada pencerahan untuk diri saya sendiri hingga setiap bait kata kuingat dan bisa mencairkan suasana dengan untaian kata yang sarat akan makna.

ada perasaan saat ini untuk selalu terus belajar hingga tanpa batas waktu,namun terkadang kemalasan ku masih ada, bukan sulit untuk bergerak tapi selalu saja terhalang dengan pikiran negatif dan serba instan, wahh wahh ga bakalan maju nih kalo gini terus.

kukerutkan dahiku, ada kesepian yang melanda dan ada pula kesenangan yang dijalani,namun tak semua itu berakhir bahagia, aku hanya ingin meminta maaf kepada kedua orang tua ku saat ini, merekalah inspirasiku tapi ku tak kuasa dlm membahagiakannya. cita2 luhung mereka ku pangkas tanpa rasa iba, aku merasa sedih sekali melihat kedua orangtua ku berjibaku dengan debu jalanan hanya untuk kami, terkadang tak ada yang menghargai dan membuat onar , terpaksalah kalimat kasarku jiwa beringasku tak dapat kutahan untuk bapa ibu tercinta. kan kujaga mereka sampai titik darah penghabisan sekalipun aku harus tak lanjut studi.

saat ini ku hanya ingin membahagiakan mereka, apapun itu tapi dengan cara baik. semoga Allah mendengar perkataan ku, yang begitu berdosa kepada mereka.
mah ... Pa, dont cry for me.